Jumat, 02 November 2012

Ketika Lukisan Cinta Tersapu Dusta


Oleh. Nurlaili  Sembiring

            Masih terpatri dalam ingatan bagaimana dia hampir saja memusnahkan kebahagiaanku. Hampir saja ia membuat hidupku hancur berkeping-keping. Sebab apa? Cinta. Mengapa bisa cinta memusnahkan kebahagiaan dan menghancurkan hidup? Sebab cinta tak berlandaskan atas naungan cintaNya.
           Di bangku perkuliahan, kurasakan kembali getar-getar cinta menyanding kalbu setelah patah hati pada cinta pertama semasa Aliyah dulu. Kali ini, tentu saja cinta itu mencapai puncak harap menuju jenjang pelaminan. Ya…kuharap dialah lelakiku yang namanya tertulis di lauful mahfuzNya. Senyumannya begitu bersahaja hingga membuatku jatuh hati. Namun sayang, lambat laun kuketahui senyum itu bukanlah untukku dan bukan milikku.
        Namun melupakan seseorang yang menempati istana hati tentu bukanlah hal mudah. Bayang wajahnya masih saja menghampiriku dalam angan tiada pasti. Rasa yang tersemat di hati begitu dahsyat sampai membawa anganku melambung tinggi demi untuk bersamanya. Angan yang sejak dulu hingga sekarang masih menghiasi hatiku demi sekeping hati yang kuharap akan menjadi imamku kelak. Ada sejumput kerinduan yang masih terus mengalir deras di hati. Hanya mampu menanti jawaban pasti dariNya. Karena sesungguhnya Dialah Maha Mengetahui atas harap pada sebuah nama yang telah terpahat di hatiku.



C i n t a….
       Begitu derasnya rasa itu memenuhi rongga hati hingga sulit kubendung. Bertahun-tahun kumemendam rasa itu di hati. Bertahun-tahun pula aksi curi-curi pandang kami lakukan. Ya..bukan hanya aku yang bersimpati padanya, namun ia juga. Apakah ia juga merasakan apa yang kurasa? Sepertinya iya, batinku.    Sikap kelemahlembutan yang selalu ia perlihatkan padaku menambah keyakinanku akan cinta yang terpendam di hati kami masing-masing. Tatap mata syahdunya menguatkan keyakinanku akan cinta yang terselip di hatinya. Apakah hanya perasaanku saja? Entahlah.

        “Ah…sampai kapan rasa ini terus tersimpan rapi di lubuk hati. Tidakkah lebih baik bila menyatu dalam sebuah jalinan,” seru batinku lagi.
Begitu menyiksa sesungguhnya menahan gejolak asmara namun aku tak punya daya mengutarakan rasaku padanya. Sejak lama kucoba mengubur perasaanku padanya. Namun aku tetap tak mampu. Pesonanya begitu memikat. Kecerdasan, kesalihan serta kesantunannya telah menguras sedikit waktuku tuk memikirkannya. Begitu sempurnanya ia di mataku hingga sulit kubenamkan wajahnya dari alam pikirku barang sekejab.
Tersebab rasa yang tak lagi mampu kupendam kucoba memberanikan diri mengutarakannya. Tak perduli apapun jawabnya. Aku hanya ingin melepas satu beban yang selama ini memenuhi rongga dadaku.
         Dengan santun tutur katanya ia berucap: "Sesungguhnya aku mencintaimu karenaNya maka dari itu aku tak mau menodai sucinya hakikat cinta ini. Aku tak ingin memulai hubungan ini dengan pacaran. karena itu tak dibenarkan dalam islam. Semoga suatu saat kita disatukan pada darmaga ta’arruf yang akan menyatukan hati kita dalam ikatan suci di bawah naungan cintaNya.”

       Deg…seketika itu aku tersadar bahwa anganku terlalu jauh. Hatiku senantiasa ternodai atas indahnya godaan cinta yang membelenggu hasrat. Aku tak sepantasnya jatuh cinta pada seseorang yang belum menjadi mahram-ku. Kuakui, ucapannya yang syahdu membuat hatiku semakin terpana. Sungguh, lelaki yang memiliki pondasi agama yang cukup kuat, itulah salah satu hal istimewa yang kukagumi darinya. Memang, tak salah kutujukan hati ini padanya.
      Sejak saat itu, kucoba memulihkan rasa yang menyentuh hati.  Menata hati agar tak tersulut rindu kian dalam pada cinta yang menjerat hati. Berupaya meyakinkan hati bahwa janjiNya pasti adanya. Aku hanya berupaya memanjatkan do’a dalam setiap sujud panjangku di sepertiga malam terakhir, agar aku dipersatukan dalam akad nan suci.

***
       Beberapa bulan kemudian terdengar kabar dari seorang sahabat bahwa ia telah menjalin hubungan dengan seorang gadis. Begitu sakitnya hatiku tak terkira. Ucapan lembutnya kala itu kembali hadir memenuhi sanubari. Mana ucap manisnya itu? Mana janji yang telah ia ikrarkan itu. Kuberanikan diri bertanya. Hanya jawaban melalui pesan singkat yang singgah ke ponselku

      “Maafkan aku, aku tak dapat menerimamu sebab cinta ini telah tertuju pada hati yang lain. Maaf…mungkin kita hanya akan menjadi teman, selalu dan selamanya.”

      Aku terdiam mencoba menahan tangis tatkala membaca sms darinya. Meskipun gemuruh hatiku tak terbendung hingga gerimis menghujani kalbu, pilu menyergap hati. Ribuan tanya terlintas dalam benakku,

     “Mengapa selama ini sikapmu seolah memberi sejuta harapan padaku? Dan mengapa janji dan harapmu yang dulu terucap oleh lisanmu kau ingkari sekejab saja? Kau penipu, kau munafik.” jerit batinku. Tangisku pun pecah, mengalir deras di ruas hatiku.

     Ah…cinta yang kuharap berakhir dalam ikatan suci nyatanya tak urung kutempuh. Patah hati untuk yang kedua kalinya kembali menjeratku. Sakit. Perih terasa seperti sembilu menyayat kalbu. Entah sampai kapan cintaku selalu berakhir kepahitan. Kembali, kucoba mengikhlaskan takdir yang ditetapkanNya.  Allah, pasti punya rahasia di balik ujian cinta yang kurasakan. Kesedihan dan kehilangan yang pernah singgah sesungguhnya cara Tuhan yang terindah untuk membuatku lebih tangguh dalam mengarungi kehidupan. Tuhan, terima kasih. Akan kujadikan kisah yang Kau tanamkan dalam hidupku sebagai pelajaran hidup paling berarti, bahwa tak sepantasnya cintaku padanya melebihi cintaku padaMu.




<photo id="1" />

1 komentar:

  1. Pura2 cinta
    Cinta dalam kepuraan
    Akhirnya tak sampai jua
    Karena mudah goyah
    Lalu tersapu angin
    menuju yg lain

    BalasHapus