Selasa, 01 Januari 2013

Sekat Sebuah Cinta




Rinduku tertawan pada sebentuk nama
Dalam ketakpastian rasa kucoba membenamkan nama itu
Agar tak terukir kian dalam
Biarlah nama itu kuselipkan dalam hati saja
Tak pantas rasanya menambatkan namanya di dalam kalbu
Mengingat ada hal yang (belum) tak mungkin menyatukan
Hanya kepastian dariNya-lah yang mampu
menguak lintasan takdir yang masih menjadi misteri
Masih banyak yang mesti disemai untuk menjaga benih-benih kesabaran 
agar tumbuh menjadi cabang-cabang kemuliaan 
Dari lubuk hati nan terdalam, kupasrahkan segala kerinduan ini padaMu

Cinta adalah sebuah kepastianNya yang takkan seorang pun mampu menebak bahkan sekedar menerka pada hati yang mana cinta ‘kan berlabuh kelak.


Aku masih ingat betul saat masih berada di LDK semasa kuliah dulu. Ketika seorang teman sekelas sempat menjalin asmara dengan teman yang juga sekelas sebelum ia bergabung di LDK. Nyatanya CINLOK tak mampu mereka elakkan. Dan cinta telah membutakan hati mereka sehingga dunia seakan-akan milik mereka berdua. Terlihat setiap moment apapun selalu mereka lewati berdua. Bahkan tak jarang mereka mengumbar kemesraan di hadapan teman-teman sekalian. Begitulah ketika cinta menjerat hati setiap manusia. 

Namun sesal sempat mereka curahkan ketika mereka menyadari bahwa jalan yang mereka tempuh telah keliru, setelah mereka bergabung di LDK. Saat itulah mereka berdua memutuskan untuk mengakhiri jalinan cinta yang mereka rangkum hampir 2 tahun di bangku perkuliahan.

Meski telah mengakhiri hubungan mereka, namun tak ada yang menyangka bahwa di antara mereka sudah tak ada hubungan lagi. Sebab mereka masih sering bercengkrama layaknya sepasang kekasih. Tak jarang aku mempertanyakan perihal hubungan mereka dan jawabnya tak pernah berubah
       “Kami sudah tak ada hubungan apapun lagi.”

Hati kecilku sempat tak mempercayai jawabannya. Namun aku tak mampu berbuat banyak, mengingat ilmuku seputar agama masih sangat minim.

Menjelang semester akhir, sang lelaki sempat mengajukan proposal kepada sang akhwat melalui seorang MR. Namun sang akhwat justru menolak untuk menikah sebelum gelar sarjana nyata dalam genggaman. Sedang sang ikhwan sudah mantap untuk segera menggenapi separuh dien-nya. Sampai akhirnya justru seorang akhwat lain yang mengajukan proposal pada sang ikhwan. Dan sang ikhwan tak kuasa untuk menolak. Dengan alasannya yang sungguh bukanlah hal mudah untuk diterima.
“ Usianya sudah cukup matang untuk menikah,”
“Tapi kan usianya jauh lebih tua dari antum” tanyaku suatu ketika
“ Usia bukanlah penghalang dalam sebuah penyatuan dua hati,” jawabnya dengan seulas senyum
“Apakah antum mencintainya?” Tanyaku pada sang ikhwan yang sudah kuanggap seperti abang ini
“Kalau kita sudah luruskan niat untuk menikah karenaNya, maka cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Bukankah Allah Maha Membolak-balikkan hati manusia. Dari cinta bisa menjadi benci begitu juga sebaliknya,” jawabnya santai

Aku tak menyangka, kemantapan iman yang diperolehnya dari LDK yang belum lama dijejakinya begitu cepat ia terapkan. Meski dalam hatiku justru aku tak rela bila ia menikah dengan akhwa lain selain akhwat yang dahulu pernah mengukir cinta bersamanya. Aku bisa melihat dari tatapan mereka berdua, bahwa masih ada cinta yang terselip di sana.
            “Sayang, aku besok menikah, jangan lupa datang ya!” sms yang dikirim sang ikhwan pada mantan kekasihnya.

Ah, ini konyol. Dia akan menikah dengan akhwat lain namun masih sempat-sempatnya mengirim pesan singkat dengan sapaan “sayang” terhadap mantannya. Ini yang membuatku tak  rela kala itu. Namun apa hakku untuk melarangnya menikah. Ah sudahlah mungkin istikharah cinta-lah yang membuatnya mantap mengambil keputusan serumit ini.
            “Tapi ingat dalam setahun setelah aku menikah, kau juga harus menikah” ancamnya diiringi tawa
            “Kalau belum menikah juga ‘kan ntar ujung-ujungnya sama aku juga,” candanya lagi, masih diirngi gelak tawa

Aku sempat terkekeh, mendengar curahan sang akhwat di angkot sepulang kuliah kala itu. Namun kembali hatiku justru tertitiki gerimis, “mungkinlah di balik tawa yang kauumbar tak sedikit pun ada kekecewaan. Aku rasa ada pilu yang kau tutupi di balik tawa renyahmu. Aku yakin.” Seru batinku.
 Entah aku yang terlalu sensitif dalam hal asmara atau apalah yang jelas kala itu aku benar-benar tak rela ketika sekat hadir di tengah-tengah cinta mereka yang masih bermekar di taman hati.

Di hari bahagia sang ikhwan. Bahagiakah? Ya kuharap demikian. Meski seraut wajah sendu tampak jelas di parasnya. Seolah ada kesedihan yang ia simpan. Tak seperti acara walimahan yang sering kulihat, di mana senyum ceria pasangan pengantin membuat setiap mata iri memandang. Sebab kali ini, hanya wajah sang akhwat yang tampak ceria dan sumringah, sedang sang lelaki hanya menampakkan wajah yang seolah dibalut pilu. Ntah hanya perasaanku saja, namun teman-teman yang lain juga justru mengutarakannya lewat lisan.

Setahun berlalu.


“Nih, jangan lupa datang ya” disodorkannya kertas berwarna merah hati yang ternyata undangan

Seolah ada gemuruh yang seketika itu hadir menghantam lubuk hatiku, saat nyata adanya bahwa sang akhwat akan segera menyusul sang ikhwat, menikah. Keputusannya justru sebelum gelar sarjana ia raih.
            “ Hmm…takut dipoligami ya, kak,” candaku kala itu
            “Belum genap setahun sudah memutuskan untuk menikah,” lanjutku lagi

Dia hanya tertawa mendengar protesku.

Begitulah cinta, awal yang semua orang menganggap mereka akan berjodoh nyatanya tak serupa selayak yang diharapkan. Sebab cinta adalah bahasa universe yang tak dinyana pun terrencana namun telah tertulis dalam skenario Tuhan. Bila berjodoh seberapa jauh pun jarak nan membentang, seberapa curamnya tebing yang hendak digapai demi meraih cinta, akan menyatu jua atas ijinNya. Begitu sebaliknya, bila tak berjodoh, meski telah menjalin asmara bertahun-tahun lamanya akan terpisah jua atas takdirNya.

Ah perihal jodoh memang rumit, tak mampu dibahasakan. Sebab takkan seorang pun yang mampu menjawab selain mengikuti alur cerita dalam setiap skenario Tuhan. Manusia  adalah peran dalam menjalani skenario Tuhan maka serahkanlah segalanya kegalauan hati padaNya.

Dan aku yang kini tengah sibuk merangkai abjad-abjad untuk membentuk sebuah nama, mencoba menyerahkan segalanya padaNya. Sebab jawaban telah ada dalam genggamanNya. Tinggal menunggu waktu saja, pada masa yang mana tanyaku bertemu jawab. Pada masa yang mana rahasiaNya terkuak.

Ah…bulir air mata nyatanya tak mampu kutahan. Luruh jua akhirnya. Mengingat Ibunda, Nenek, dan kakek takkan pernah berada di sampingku ketika aku menikah nanti. Dan kemarin saat mengunjungi nenek (adik dari alm.kakek), harapan yang diiringi tangis, telah menyesakkan dadaku.
            “Menikahlah, Li. Usiamu sudah cukup untuk menikah. Aku takut….takut tak sempat melihatmu menikah,”  lirih, ucapnya terbata-bata diselingi tangis dan memelukku erat.

Ah nenek, kau membuat hatiku luruh tak tersentuh. Kau doakan saja agar cucumu ini segera menemukan tambatan hati yang memilik pribadi yang baik sebagai imam serta penyayang. Aku juga tak bermaksud untuk menunda-nunda lagi hanya saja Allah belum menyetujui inginku. Semoga segera,Nek.
             “Lit nge pagi masa na?” jawabku berbahasa karo.

4 komentar:

  1. Aku pun mendoakanmu dari sini
    semoga disegerakan :)

    BalasHapus
  2. Wahhhh., curhatannya sama.. jadi ikutan bersedih sesuai background blognya, tetesan air gitu ukht T_T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh mbak juga tengah menanti ya? :)

      Backgroundnya embun mbak hehe

      Hapus