Rinduku tertawan pada sebentuk nama
Dalam ketakpastian rasa kucoba
membenamkan nama itu
Agar tak terukir kian dalam
Biarlah nama itu kuselipkan dalam
hati saja
Tak pantas rasanya menambatkan
namanya di dalam kalbu
Mengingat ada hal yang (belum) tak mungkin
menyatukan
Hanya kepastian dariNya-lah yang
mampu
menguak lintasan takdir yang masih
menjadi misteri
Masih banyak yang mesti disemai
untuk menjaga benih-benih kesabaran
agar tumbuh menjadi cabang-cabang
kemuliaan
Dari lubuk hati nan terdalam,
kupasrahkan segala kerinduan ini padaMu
Cinta adalah
sebuah kepastianNya yang takkan seorang pun mampu menebak bahkan sekedar menerka
pada hati yang mana cinta ‘kan berlabuh kelak.
Aku masih
ingat betul saat masih berada di LDK semasa kuliah dulu. Ketika seorang teman
sekelas sempat menjalin asmara dengan teman yang juga sekelas sebelum ia
bergabung di LDK. Nyatanya CINLOK tak mampu mereka elakkan. Dan cinta telah
membutakan hati mereka sehingga dunia seakan-akan milik mereka berdua. Terlihat
setiap moment apapun selalu mereka lewati berdua. Bahkan tak jarang mereka
mengumbar kemesraan di hadapan teman-teman sekalian. Begitulah ketika cinta menjerat
hati setiap manusia.
Namun
sesal sempat mereka curahkan ketika mereka menyadari bahwa jalan yang mereka
tempuh telah keliru, setelah mereka bergabung di LDK. Saat itulah mereka berdua
memutuskan untuk mengakhiri jalinan cinta yang mereka rangkum hampir 2 tahun di
bangku perkuliahan.
Meski
telah mengakhiri hubungan mereka, namun tak ada yang menyangka bahwa di antara
mereka sudah tak ada hubungan lagi. Sebab mereka masih sering bercengkrama
layaknya sepasang kekasih. Tak jarang aku mempertanyakan perihal hubungan
mereka dan jawabnya tak pernah berubah
“Kami sudah tak ada hubungan apapun lagi.”
Hati kecilku
sempat tak mempercayai jawabannya. Namun aku tak mampu berbuat banyak,
mengingat ilmuku seputar agama masih sangat minim.
Menjelang semester akhir, sang lelaki sempat
mengajukan proposal kepada sang akhwat melalui seorang MR. Namun sang akhwat justru
menolak untuk menikah sebelum gelar sarjana nyata dalam genggaman. Sedang sang
ikhwan sudah mantap untuk segera menggenapi separuh dien-nya. Sampai akhirnya
justru seorang akhwat lain yang mengajukan proposal pada sang ikhwan. Dan sang
ikhwan tak kuasa untuk menolak. Dengan alasannya yang sungguh bukanlah hal
mudah untuk diterima.
“ Usianya sudah cukup matang untuk menikah,”
“Tapi kan usianya jauh lebih tua dari antum”
tanyaku suatu ketika
“ Usia bukanlah penghalang dalam sebuah penyatuan
dua hati,” jawabnya dengan seulas senyum
“Apakah antum mencintainya?” Tanyaku pada sang
ikhwan yang sudah kuanggap seperti abang ini
“Kalau kita sudah luruskan niat untuk menikah
karenaNya, maka cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Bukankah Allah Maha
Membolak-balikkan hati manusia. Dari cinta bisa menjadi benci begitu juga
sebaliknya,” jawabnya santai
Aku tak
menyangka, kemantapan iman yang diperolehnya dari LDK yang belum lama
dijejakinya begitu cepat ia terapkan. Meski dalam hatiku justru aku tak rela
bila ia menikah dengan akhwa lain selain akhwat yang dahulu pernah mengukir
cinta bersamanya. Aku bisa melihat dari tatapan mereka berdua, bahwa masih ada
cinta yang terselip di sana.
“Sayang,
aku besok menikah, jangan lupa datang ya!” sms yang dikirim sang ikhwan pada
mantan kekasihnya.
Ah, ini
konyol. Dia akan menikah dengan akhwat lain namun masih sempat-sempatnya
mengirim pesan singkat dengan sapaan “sayang” terhadap mantannya. Ini yang
membuatku tak rela kala itu. Namun apa
hakku untuk melarangnya menikah. Ah sudahlah mungkin istikharah cinta-lah yang
membuatnya mantap mengambil keputusan serumit ini.
“Tapi ingat dalam setahun setelah
aku menikah, kau juga harus menikah” ancamnya diiringi tawa
“Kalau belum menikah juga ‘kan ntar
ujung-ujungnya sama aku juga,” candanya lagi, masih diirngi gelak tawa
Aku sempat
terkekeh, mendengar curahan sang akhwat di angkot sepulang kuliah kala itu.
Namun kembali hatiku justru tertitiki gerimis, “mungkinlah di balik tawa yang
kauumbar tak sedikit pun ada kekecewaan. Aku rasa ada pilu yang kau tutupi di
balik tawa renyahmu. Aku yakin.” Seru batinku.
Entah aku yang terlalu sensitif dalam hal
asmara atau apalah yang jelas kala itu aku benar-benar tak rela ketika sekat hadir
di tengah-tengah cinta mereka yang masih bermekar di taman hati.
Di hari
bahagia sang ikhwan. Bahagiakah? Ya kuharap demikian. Meski seraut wajah sendu
tampak jelas di parasnya. Seolah ada kesedihan yang ia simpan. Tak seperti
acara walimahan yang sering kulihat, di mana senyum ceria pasangan pengantin membuat
setiap mata iri memandang. Sebab kali ini, hanya wajah sang akhwat yang tampak
ceria dan sumringah, sedang sang lelaki hanya menampakkan wajah yang seolah dibalut
pilu. Ntah hanya perasaanku saja, namun teman-teman yang lain juga justru
mengutarakannya lewat lisan.
Setahun berlalu.
“Nih, jangan lupa datang ya” disodorkannya kertas
berwarna merah hati yang ternyata undangan
Seolah ada
gemuruh yang seketika itu hadir menghantam lubuk hatiku, saat nyata adanya
bahwa sang akhwat akan segera menyusul sang ikhwat, menikah. Keputusannya justru
sebelum gelar sarjana ia raih.
“ Hmm…takut dipoligami ya, kak,”
candaku kala itu
“Belum genap setahun sudah
memutuskan untuk menikah,” lanjutku lagi
Dia hanya
tertawa mendengar protesku.
Begitulah
cinta, awal yang semua orang menganggap mereka akan berjodoh nyatanya tak
serupa selayak yang diharapkan. Sebab cinta adalah bahasa universe yang tak
dinyana pun terrencana namun telah tertulis dalam skenario Tuhan. Bila berjodoh
seberapa jauh pun jarak nan membentang, seberapa curamnya tebing yang hendak
digapai demi meraih cinta, akan menyatu jua atas ijinNya. Begitu sebaliknya,
bila tak berjodoh, meski telah menjalin asmara bertahun-tahun lamanya akan terpisah
jua atas takdirNya.
Ah
perihal jodoh memang rumit, tak mampu dibahasakan. Sebab takkan seorang pun
yang mampu menjawab selain mengikuti alur cerita dalam setiap skenario Tuhan. Manusia
adalah peran dalam menjalani skenario
Tuhan maka serahkanlah segalanya kegalauan hati padaNya.
Dan aku
yang kini tengah sibuk merangkai abjad-abjad untuk membentuk sebuah nama,
mencoba menyerahkan segalanya padaNya. Sebab jawaban telah ada dalam
genggamanNya. Tinggal menunggu waktu saja, pada masa yang mana tanyaku bertemu jawab.
Pada masa yang mana rahasiaNya terkuak.
Ah…bulir
air mata nyatanya tak mampu kutahan. Luruh jua akhirnya. Mengingat Ibunda,
Nenek, dan kakek takkan pernah berada di sampingku ketika aku menikah nanti.
Dan kemarin saat mengunjungi nenek (adik dari alm.kakek), harapan yang diiringi
tangis, telah menyesakkan dadaku.
“Menikahlah, Li. Usiamu sudah cukup
untuk menikah. Aku takut….takut tak sempat melihatmu menikah,” lirih, ucapnya terbata-bata diselingi tangis
dan memelukku erat.
Ah nenek,
kau membuat hatiku luruh tak tersentuh. Kau doakan saja agar cucumu ini segera
menemukan tambatan hati yang memilik pribadi yang baik sebagai imam serta penyayang.
Aku juga tak bermaksud untuk menunda-nunda lagi hanya saja Allah belum
menyetujui inginku. Semoga segera,Nek.
“Lit nge pagi masa na?” jawabku
berbahasa karo.
Aku pun mendoakanmu dari sini
BalasHapussemoga disegerakan :)
Aamin ya Rabb, syukron ya kak Haris :)
HapusWahhhh., curhatannya sama.. jadi ikutan bersedih sesuai background blognya, tetesan air gitu ukht T_T
BalasHapusOh mbak juga tengah menanti ya? :)
HapusBackgroundnya embun mbak hehe