By. Lelly Elfirza Sembiring
Masih terpatri dalam ingatan bagaimana awal aku bertemu dengannya. Bayang wajahnya pun masih saja menghampiriku dalam angan tiada pasti. Rasa yang tersemat di hati mungkin salah satu sebab yang membawa anganku melambung tinggi demi mengarungi sekelumit asa. Angan yang dulu menjulang tinggi bahkan hingga sekarang masih menghiasi hatiku demi sekeping hati yang kuharap akan menjadi imamku kelak. Ada sejumput rasa yang masih terus mengalir deras di hati. Hanya mampu menanti jawaban pasti dariNya. Karena sesungguhnya Dialah Maha Mengetahui atas harap pada sebuah nama yang telah terpahat di hatiku.
Bermula dari kampus kami dipertemukan olehNya. Awal yang bermula tiada rasa menyelinap di hati ketika menatap wajahmu yang memang rupawan, bahkan sekedar mengaguminya pun tidak. Mungkin karena aku yang memang susah jatuh cinta atau mungkin karena aku yang belum begitu mengenalnya, entahlah. Melihat sosoknya yang sedikit pendiam dan jarang bergabung dengan teman-teman lain membuatku menilai dirinya adalah pria yang sombong dan angkuh hingga tak mau berteman dengan yang tidak selavel dengannya.
Menginjak usia setahun bersatunya kami pada kelas yang sama, ada sesuatu yang berbeda darinya, ia berubah. ia tampak lebih friendly, tak sediam sebelumnya, ia mulai melihatkan sikap keramah tamahannya pada setiap orang termasuk diriku. Aku pun mulai mengaguminya, hingga timbullah benih-benih cinta padanya. Aku mulai dekat dengannya walau kedekatanku tak seperti kedekatannya terhadap teman-teman wanita lainnya di kelas. Setidaknya ia mulai bisa menebarkan senyumnya yang tak pernah kulihat selama setahun mengenalnya.
Aku adalah wanita yang cukup sulit jatuh cinta. Untuk berteman dekat dengan lelaki pun tak mudah bagiku, lidahku kerap kali kelu setiap kali hendak memulai pembicaraan atau sekedar menyapanya. Yah aku hanya mampu tersenyum setiap kali beradu pandang dengannya. Sungguh getar-getar rasa yang telah lama tak kurasakan lagi setelah patah hati yang pernah menjeratku pada jurang trauma pada cinta pertama beberapa tahun silam, aku jera jatuh cinta lagi.
Kini, aku mulai membuka pintu hatiku kembali setelah sekian lama tertutup, tentu saja untuknya. Cinlok alias Cinta Lokasi, mungkin ini yang tengah kurasa. Menatap sosok lelaki yang tampan dan gagah, hati wanita mana yang tak tergoda. Namun jauh di lubuk hati yang terdalam bukanlah itu hal utama yang menjerat hatiku. Kecerdasannya, kesalihannya serta sikapnya yang cool tanpa dibumbui hisapan rokok itu yang memikatku. Sesuai dengan idaman hatiku, walau kusadari bahwa tak ada manusia yang sempurna karena kesempurnaan hanyalah milikNya.
Sikapnya yang berbeda terhadapku membuat hatiku terpikat. Kesantunan tutur katanya selalu menjerat hatiku. Belum lagi tingkahnya di hadapanku yang sesekali seperti seseorang yang tengah caper alias cari perhatian, atau sekedar curi-curi pandang. Belum lagi senyumnya yang bersahaja selalu mampu menaklukkan sekeping hati ini. Hingga muncul seuntai angan di relung hatiku. Berharap ia adalah soulmate-ku yang telah ditetapkanNya. Lelaki yang akan menjadi imamku, kelak. Dengan dipertemukannya aku di kampus dan kelas yang sama pula.
Anehnya, setiap ada tugas kelompok kami selalu berada pada kelompok yang sama, hingga muncul celotehan sebahagian temanku
“Aneh, kalian kok selalu satu kelompok ya, jangan-jangan jodoh nih.” ujar mereka sambil menggodaku
Aku hanya mengaminkan omongan mereka dalam hati.
Sungguh indah pertemanan yang kulalui bersamanya. Semakin hari aku semakin dekat dengannya. Walau terkadang aku tersadar dari khayalku, bahwa aku tak pantas mengalaminya. VMJ ( Virus Merah Jambu ) telah menaburkan angan pada gejolak hati. Ah..aku tak boleh mengalaminya mengingat peranku sebagai seorang aktivis dakwah. Hingga kucoba tuk menghapus jejaknya di hatiku. Setahun dua tahun tak jua mampu menghapus jejaknya di hatiku hingga pada akhirnya ia mengetahui akan isi hatiku. Dengan santun tutur katanya ia berucap :
“Aku mencintaimu karenaNya maka dari itu aku tak mau menodai sucinya hakikat cinta. Aku tak ingin memulai hubungan ini dengan pacaran. karena itu tak dibenarkan dalam islam. Semoga suatu saat kita disatukan pada darmaga ta’arruf yang akan menyatukan hati kita pada jamuan cintaNya.”
Sungguh ucapannya membuat hatiku semakin terpana. Sungguh, lelaki yang memiliki pondasi agama yang cukup kuat, itulah salah satu hal istimewa yang dimilikinya. Memang, tak salah kutujukan hati ini padanya.
Beberapa bulan kemudian terdengar kabar dari seorang teman bahwa ia telah menjalin hubungan dengan seorang gadis. Hingga kuberanikan diri bertanya. Hanya jawaban melalui pesan singkat yang ia beri.
“Maaf kita hanya akan menjadi teman, selalu dan selamanya.”
Aku terdiam mencoba menahan tangis tatkala membaca sms darinya. Meskipun gemuruh hatiku tak terbendung hingga gerimis menghujani kalbu, pilu menyergap hati. Ribuan tanya terlintas dalam benakku, mengapa selama ini sikapnya seolah memberi sejuta harapan padaku? Dan mengapa janji dan harapmu yang dulu terucap pada lisanmu kau ingkari seketika?
Dalam serpihan hati yang tersayat luka kucoba mengubur angan penuh duri. Mencoba menata hatiku kembali untuk melupakan segenap asa yang pernah tumbuh di hati. Meskipun sulit karena luka masih saja membekas di hati, untuk kedua kalinya aku terjerat pada kata dusta dengan pengkhianatan.
Sebagai insan bernyawa tentu memiliki belahan jiwa menjadi hal yang diimpikan setiap orang. Meskipun soulmate yang kuharap tak terjamah pada sekeping hati yang lara. Tetap kucoba menuai do’a penuh ikhlas demi bahagianya. Aku yakin bahwa jodohku telah ditetapkanNya jauh sebelum ruh menjadi penggerak tubuh ini. Mungkin bukan dia tapi seseorang yang masih dirahasiakanNya. Bermodal keyakinan yang kokoh atas bentang keagunganNya, kucoba menuai keikhlasan demi menjamah cintaNya.Karena hanya cintaNya yang akan abadi tanpa pengkhianatan.Sungguh, tiada cinta yang kekal selain cintaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar