By. Lelly Elfirza Sembiring
Kutuliskan rasa hatiku dalam sepucuk surat cinta yang bertintakan air samudera. Saat ia habis terkikis, aku belum dapat menyelesaikan kalimatnya. Tetapi walaupun begitu akan tetap kucurahkan setiap bait kata, sepenuh jiwa.
Bunda....tergenang air mataku
Kutuliskan rasa hatiku dalam sepucuk surat cinta yang bertintakan air samudera. Saat ia habis terkikis, aku belum dapat menyelesaikan kalimatnya. Tetapi walaupun begitu akan tetap kucurahkan setiap bait kata, sepenuh jiwa.
Bunda....tergenang air mataku
Terbayang akan wajahmu yang redup sayu
Sucinya kasihmu, lembutnya belaian tanganmu
Yang engkau hamparkan
Bagaikan lautan yang tak bertepi
Bunda...Kasih sayangmu yang tulus
Bunda...Kasih sayangmu yang tulus
Sungguh teramat berarti bagiku
Itulah harta terindah yang kau berikan padaku
Ya....Rabb penggenggam bumi yang kami tapaki
Ya....Rabb penggenggam bumi yang kami tapaki
Ampunilah dosa-dosa Bunda
Yang telah melahirkan dan merawatku
Dengan kasih sayang yang tulus
Semoga Engkau bahagia di penginapan terakhirmu
Bunda...
Bunda...
Ijinkanku mengabadikan sebait rasa cintaku padamu. Berharap ungkapan cintaku ini dapat mengobati lara di pundakmu. Sungguh tak mampu kulukiskan segala hal tentangmu, namun tak mungkin pula jikalau hasrat kecintaan hanya terpendam di dalam hati hingga membeku, tiada guna. Sunggguh aku tak tahu bagaimana tuk mengungkapkan segalanya agar pesan cintaku tersampaikan padamu. Tak mampu kumengukir kata-kata indah tuk kupersembahkan padamu. Tak mampu pula ku mengutarakan dalam lisan bahwa aku mencintaimu. Karena bibirku kerap kali kelu ketika ingin berucap kata itu.
Bunda…
Bunda…
Kasih sayangmu yang tulus takkan pernah terbalaskan olehku. Hanya lantunan do'a-do'aku yang tulus yang kan kuhadiahkan padamu, Bunda. Kaulah sebutan terindah yang keluar dari bibirku, anakmu. Kaulah kata tersejuk yang tertanam dalam istana hatiku. Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa. Kaulah sosok terindah dalam hidupku, penghias jiwaku. Penegas hati dikala lara, impian dalam setiap hela nafasku, rujukan dikala nista. Engkau merupakan mata air cinta yang takkan pernah keruh sampai kapanpun. Cintamu akan tetap terus mengalir menemani kerinduanku.
Bunda...
Bunda...
Masih abadi dalam ingatanku saat aku merepotkanmu atas segala kebutuhan. Namun tak pernah sekalipun kau mengeluh ataupun menolak atas segala harapku. Dengan senyuman kau selalu berupaya memenuhi segala inginku. Masih terpatri dalam memoriku saat aku menangisi kegagalanku di pelukanmu. Meratapi segala angan yang selalu berakhir dengan kegagalan. Bahkan hingga detik ini pun aku belum dapat mempersembahkan sebuah kata “sukses” di hadapanmu.
Bunda....
Teringat aku ketika kau terbaring lemah di pembaringanmu. Saat sakit mendera tubuhmu hingga kakimu pun seolah tak berfungsi karena tak mampu kau jejakkan kakimu. Entah mengapa, namun semua berada di atas kehendakNya. Di saat itu, aku yang lemah tak mampu menatapmu yang terbaring lemah tak berdaya. Namun sebuah keegoan masih saja meraja dalam diri, berkecamuk di dalam dada. hingga tak dapat kumerawatmu dengan keikhlasan sepenuh hati. Mengeluh kerap kali menjulang tinggi di peraduan hati. Hingga sebuah sesal kini kudapati tatkala kepergianmu menyisakan sejuta kerinduan di kalbuku. Kini seulas senyuman pun tak lagi dapat kulihat tersungging di bibirmu. Sebuah canda ria pun takkan pernah kutemui lagi. Hanya gundukan tanah dan batu nisan yang tegak bertuliskan namamu yang hanya dapat kupandangi.
Bunda...
Teringat aku ketika kau terbaring lemah di pembaringanmu. Saat sakit mendera tubuhmu hingga kakimu pun seolah tak berfungsi karena tak mampu kau jejakkan kakimu. Entah mengapa, namun semua berada di atas kehendakNya. Di saat itu, aku yang lemah tak mampu menatapmu yang terbaring lemah tak berdaya. Namun sebuah keegoan masih saja meraja dalam diri, berkecamuk di dalam dada. hingga tak dapat kumerawatmu dengan keikhlasan sepenuh hati. Mengeluh kerap kali menjulang tinggi di peraduan hati. Hingga sebuah sesal kini kudapati tatkala kepergianmu menyisakan sejuta kerinduan di kalbuku. Kini seulas senyuman pun tak lagi dapat kulihat tersungging di bibirmu. Sebuah canda ria pun takkan pernah kutemui lagi. Hanya gundukan tanah dan batu nisan yang tegak bertuliskan namamu yang hanya dapat kupandangi.
Bunda...
Sebuah cita yang sedari dulu ingin kupersembahkan demi menggapai senyummu hingga kini belum dapat kuberikan padamu. Bahkan ketika aku harus kehilanganmu. Andai kau tahu bunda saat ini cita itu takkan lama lagi kudekap. Namun apalah arti sebuah kata “sarjana” bila kau tak lagi berada di sisiku. Kini kau telah berada di pernginapan terakhirmu, hingga tak kujumpai lagi dirimu.
Bunda…
Bunda…
Andai waktu dapat terulang, ingin rasanya aku mendekapmu kembali dalam pelukan hangat cintaku. Namun kini realita berkata lain, kau telah meninggalkanku dalam sepi hingga takkan pernah kutatap wajahmu lagi. Lirih hati ini menyebut namamu yang syahdu. Tak mampu kutorehkan segala hasrat kerinduanku padamu. Andai saja kudapat mempersembahkan kerinduanku ini padamu. Inginku kubasuh lukamu yang telah tenggelam bersama jasadmu yang telah terkubur. Sungguh, ingin aku mencium kakimu untuk menghapus segala dosaku yang telah menggunung. Ingin kudekap tubuhmu erat dan berucap “ ibu, aku mencintaimu”.
Bunda…
Bunda…
Sungguh tak pernah terbayang olehku saat aku harus kehilanganmu, saat kau pergi meninggalkanku. Kini, aku merasa kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa merestui segala jejak langkahku dalam menghadapi kerasnya dunia. Sungguh di relung hati ini hanya ada satu nama yang terukir syahdu dan sejati "Bunda" Dan satu harap yang terus terpatri di relung hatiku “ Semoga Allah akan menyatukan hati kita kembali di surgaNya, kelak ", Amin. Kini hanya lantunan do’a yang akan terus terangkai indah untukmu dengan segenap ketulusan hati. Salam rinduku selalu atasmu, Bunda. I Love You
Tidak ada komentar:
Posting Komentar