Selasa, 13 September 2011

"BUAIAN MIMPI INDAH"

Di Balik Tirai Hujan …
Kulukiskan kisahku, tentangmu.

Kemarin, rindu membakar harap dalam kalbu untuk sebuah perjumpaan. Menciptakaan asa yang tak biasa akan sebuah kebersamaan, seperti dahulu. Kebersamaan yang senantiasa menebar bahagia tak ternilai. Kebersamaan yang begitu indah dalam bingkai “kasih”; di bawah gubuk “cinta”, di atas altar sang “Maha Cinta” dan di tengah-tengah orang “terkasih”. Sungguh tak ada kebersamaan seindah berkumpul dengan keluarga. Ya… keluarga adalah harta paling indah dalam hidup. Dialah permata yang tak tertandingi kemilau indahnya. Tempat menumpahkan segala suka dan duka yang membanjiri raga. Ah…rindu, selalu menjadi penghias dalam hidup yang kujalani. Terkadang manis namun kadang juga terasa pahit bila tak bersambut dengan pertemuan. Itulah “rindu”.

Setelah seharian penuh menjalani rutinitas seperti biasa, maka saatnya raga beristirahat. Sebab mata sudah tak sanggup menahan kantuk. Kupejamkan mata hingga terlelap. Setelahnya, ada hal berbeda yang terjadi, sosok yang kurindu itu hadir. Begitu nyata di pelupuk mataku. Menghadirkan kasih dalam bingkai cinta yang tak biasa. Ah…dia, sosok itu, sosok yang selalu kurindu menjelma nyata di hadapanku. Ibu…ya ibu tercinta. Ia hadir menemani malamku.

Saat itu ntah pada moment apa, aku tak tahu. Kulihat orang-orang berbondong-bondong menuju suatu tempat. Tempat apa itu? Aku jua tak tahu, samar. Di tengah kerumuman orang-orang aku mencari sosok itu karena aku telah kehilangan jejaknya karena terlalu ramai. Kutolehkan ke belakang berharap ada sosok itu di sana. Samar-samar kulihat ayah menggandeng tangannya dengan mesra, mesra sekali. Namun ia tak berdua, ada seorang bocah kecil pula mendampinginya, ia adalah keponaanku. Sesaat kemudian kupanggil keponaanku dan kugandeng jemari mungilnya. Akhirnya kami berjalan beriringan, di sebelahku ada seorang ibu paruh baya, ialah tetanggaku.

        “Lel, kenapa kok kamu begitu cuek pada ibumu. Biasanya kamu begitu dekat dengannya.?”
Deg…tiba-tiba saja aku sadar saat aku memanggil firja, keponaanku. Aku sama sekali tak memandang wajah seseorang yang bergandengan dengan ayahku, yakni ibuku. Seketika, kupalingkan wajahku mencari sosok itu yang berjalan di belakangku. Aku tersenyum padanya, ia pun membalas senyumku. Manis, manis sekali. Senyuman yang telah lama tak kujumpai, senyuman yang selalu kurindu menjelma nyata di pelupuk mataku. Kemudian kami meneruskan perjalanan kembali, di tengah perjalanan air bening jatuh merembes membasahi pipi, kudekap seseorang yang berada di sebelahku yakni kak Sarmiani, tetangga dekat rumah. Kutumpahkan air mataku di sana. Ntah apa yang membuatku menangis, aku sungguh tak mengerti. Tak lama kemudian, jalanan yang tadinya ramai oleh kerumunan orang tiba-tiba saja menghilang, kutatap sekelilingku demi meyakinkan kembali tatapan mataku, senyap. Yang ada hanya sepi. Aku terbelalak, saat menyadari bahwa aku berada di atas tempat tidur. Ya… aku bermimpi, bermimpi bertemu dengan almarhumah ibunda yang telah dua tahun kembali ke PangkuanNya.

Cinta yang tak biasa telah menebarkan kasih tak terlupa. Rindu yang kemarin membelenggu hati terobati sudah. Allah selalu punya cara yang tak terisyaratkan dalam memenuhi harap setiap hambaNya. Saat kerinduan kemarin menjelma nyata dalam sebuah perjumpaan, meski tak senyata yang kumau. Di alam mimpi, Allah telah mempertemukanku dengannya, sosok yang dua tahun ini memenuhi rongga kerinduanku. Buaian mimpi yang begitu indah, saat aku dapat menatap sunyuman manis itu. Senyuman yang telah lama tak terlihat. Senyum…ya semoga saja ia memang selalu tersenyum berada di dekatMu. Dalam bingkai kerinduan, kusapa kau dalam lirih do’a. Kan kuabadikan mimpi manis ini agar tak lenyap ditelan masa.

Binjai, 14 September 2011

KEMBALI MERINDU


Menjelang Maghrib ...

        Sepi merengkuh raga. Dalam sendiriku dengan menghadapi setumpuk pakaian yang sedang kurapikan, ada rasa yang berbeda menghampiri jiwa. Rasa yang tak biasa namun sering kualami.
Kangen ... hanya itu. Kangen akan keberadaan almarhumah Ibunda yang telah kembali ke pangkuanNya. Dalam diam kutatap sekelilingku, berharap ada bayangnya di sana. Namun sayang, semua hanyalah harap yang takkan mungkin kudekap. Alamku telah berbeda dengannya bagaimana mungkin aku bisa bertemu dengannya di dunia ini.

       Saatku tersadar, ternyata setitik  air bening telah jatuh membasahi pipi. Tak mampu menahan tangis. Rasanya ingin kulampiaskan rasa kehilangan dan kerinduanku ke kasur empuk, mendekap bantal dan kuhamburkan air mataku di sana. Namun kembali aku tersadar, percuma saja kutangisi, sebab tangisku hanya akan membuatnya sedih di alam sana. Dalam lirih, do'a tulusku mengalun syahdu dalam kalbu.

      Sebab permintaan ampun dan doa seorang anak yang shalih bisa bermanfaat bagi orang tuanya, sebagaimana yang dijanjikan Allah dalam hadits bahwa Allah akan mengangkat derajat kedua orang tua apabila anaknya sudi memintakan ampun untuk mereka. Jadi bukan berarti seorang anak tidak dapat mengerjakan birrul walidain ketika kedua orang tuanya telah tiada, akan tetapi berbuat baik kepada kedua orang tua tidak terbatas hanya dalam masa hidupnya, tapi bisa juga setelah ketiadaannya. Di antara hal tersebut adalah dengan mendoakannya, memintakan ampun baginya. Ini termasuk amalan yang dilakukan seorang anak dan memberikan manfaat bagi orang tuanya.

      Dan mendoakan mereka bukan hanya melalui lisan kita, tapi bisa juga dengan cara meminta kepada orang yang shalih supaya mendoakan kebaikan, hidayah dan petunjuk bagi kedua orang tua kita. Usaha maksimal harus ditempuh oleh seorang anak yang berbakti untuk kebaikan dan keshalihan bapak ibunya.

maghrib menyapa ...

      Kusucikan diriku dengan berwudhu dan kutunaikan shalat maghrib. Kukerjakan dengan lebih khusyuk dari biasanya sampai tahiyat akhir. Dalam do'a seusai shalat kembali air mataku jatuh saat kusenandungkan do'a untuk bunda tercinta, tapi kali ini lebih deras dari sebelumnya.Ya...Allah sampai kapan kerinduan ini mendekapku? Bagaimana keadaannya di sisiMu? Ya Rabb...jagalah selalu dirinya seluas penjagaanMu.

Ibu ...
Meskipun keberadaanmu tak lagi ada di dunia
Namun kasihmu masih terasa mengalir dalam darahku
Sayangmu masih membekas dalam raga ini
Takkan tergantikan

Ibu ...
Meski kini telah ada pengganti sosokmu di rumah mungil kita
Namun tebaran cinta nan ia suguhkan
Tak sehangat cinta nan kau persembahkan
Tak tertandingi

Ibu ...
Kaulah segalanya bagiku
Tak akan ada nan mampu menggantikan sosokmu
Secantik dan sebaik apapun ia
Karena cintamu akan terus terpatri dalam hati ini

Ibu ...
Takkan ada nan mampu menandingi
Tulus cinta dan sayang nan kau beri
Sebab kasihmu tak berhujung
Dan tak bersekat

Ruang Inspirasi, 13 September 2011
Antara Impian dan Trauma


Sebagai seseorang yang baru belajar dan menekuni dunia kepenulisan, buku pasti menjadi pedoman paling penting untuk mengembangkan kemampuan dalam menulis. Sebab dengan membaca, banyak pengetahuan baru yang didapat dan bisa kita urai menjadi bait-bait tulisan. Dengan membaca pula kita dapat mengetahui banyak hal tentang ketentuan-ketentuan dalam menulis. Maka dari itu, aku pun mulai mencoba menyisihkan uangku setiap bulannya untuk membeli buku demi menambah koleksi buku yang masih sangat minim kumiliki.

Jujur saja, terkadang aku iri dengan teman-teman penulis lainnya yang telah menyukai dunia kepenulisan sejak kecil, sedangkan aku? Hobi baca saja baru kutekuni kembali pada awal 2011 meski ketika menduduki bangku SD aku sangat menyukainya, namun sayangnya aku sempat meninggalkannya. Menyesal? Tentu. Namun di usiaku sekarang aku tak mau menyia-nyiakannya lagi. Aku ingin benar-benar mencintai dunia baca dan tulis dan tak ingin melepaskannya dalam lingkaran kehidupanku hingga batas yang ditentukanNya.

Aku juga iri melihat teman yang berfoto ria dengan narsisnya bersama koleksi buku-buku mereka yang cukup banyak. Menatanya dengan sangat rapi dalam lemari kaca. Membuat perpustakaan pribadi di rumah mereka. Aku ingin mengikuti jejak mereka, maka karena keirianku itulah muncul ide gilaku untuk rutin membeli buku setiap bulannya. Bahkan aku juga sangat rajin mengikuti kuis-kuis berhadiah buku, hanya untuk menambah koleksi perpustaan pribadiku. Berharap suatu saat perpustakaan pribadiku menjadi perpustaan umum yang dapat dipinjam oleh siapapun. Bukankah berbagi ilmu lewat tulisan ataupun buku adalah hal yang mulia dan patut dibudayakan. Apa salahnya bila kucoba sejak sekarang. Alhamdulillah Allah kasih jala buatku untuk mewujudkan impianku. “Setiap niat baik pasti ada kemudahan” dan itu nyata kualami sebab aku sering memenangkan kuis. Meski memenangkan lomba belum pernah, namun tak mengapalah ^_^. Hidup adalah proses dan saat ini adalah proses pembelajaran bagiku dalam segala aspek.

Namun baru saja niat itu memenuhi relung hatiku. Ada sesuatu yang agaknya mencoba mengubur niatku tersebut. Seorang sahabat yang tergabung dalam “Sembilan Keping Hati”  telah mengecewakanku. Sebuah buku kumpulan novelete yang baru saja kubeli dan belum sempat kukhatamkan seluruhnya dipinjam dan belum dikembalikan hingga kini. Hampir tiga bulan lamanya buku itu berada di tangannya namun belum jua ia kembalikan.
Pada kesempatan yang ada aku pernah bertanya padanya
         “Sri, bukuku udah selesai kamu baca? Dibawa nggak?”
         “Oh udah selesai sih, tapi nggak kubawa, kamu sih nggak mau mengingatkanku lewat sms.”

Satu kali alasannya bisa kuterima. Beberapa waktu kemudian ketika bertemu di kampus kuajukan lagi pertanyaan yang sama, jawabanya membuatku sangat kesal
            “Sri, dibawa nggak bukuku?”
            “Nggak. Kamu nggak nyuruh bawa, ya nggak kubawa,”
            “Jadi kalau diingatkan dulu baru kamu kembalikan. Niat mengembalikan nggak sih?”

Emosiku mencuak, aku tak mampu mengontrol amarah. Teman-teman yang lain terdiam melihat ekspresiku yang tidak seperti basanya. Aku memang tak pernah berucap kasar apalagi pada sahabat-sahabat karibku yang tergabung dalam “Sembilan keeping hati”.

Akibat ucapan kasarku itu ia tak lagi pernah membalas setiap sms yang kukirimkan. Ucapam hari lebaran pun sama sekali tak ada respon darinya. Ketahuilah teman ... emosiku hanya sesaat!!! kini kebencian itu telah punah. namun akibat luka yang kutorehkan, komunikasiku dengannya agak merenggang. Menyesal ? tentu. Menyesal karena meminjamkan buku dan menyesal telah berucap kasar padanya, sahabatku.

Sejak saat itu aku jadi enggan meminjamkan buku pada siapapun. Aku trauma meminjamkan buku meski kepada sahabatku sendiri. Lantas, akankah aku harus mengubur impianku dalam mewujudkan sebuah “Taman Bacaan Umum” yang berawal dari perpustakaan miniku. Entahlah. Semoga ada keajaiban di balik niat baik ini. Amin.

Binjai, 12 September 2011

Berteman Sepi Dalam Pekatnya Malam

         Malam kian merambat menuju peraduannya, mata pun mulai lelah berada di depan layar monitor. Meninggalkannya? Aku jua tak mampu, sebab di sinilah kutemukan dunia baru dalam hidupku. Memberikan energi positif di sisa usia yang ada. Dari sini pula aku mulai mempu memaknai kehidupan. Dan aku tak ingin menyia-nyiakan waktu, kesempatan dan fasilitas yang ada. Aku ingin menjadikan hal yang lebih bermakna di sisa usiaku. Sebab aku tak tahu sampai kapan ruh ini setia menemani ragaku. Aku tak tahu kapan ajal kan menjemputku. Maka aku sangat ingin mengabadikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain.

        Hari ini waktu serasa begitu lama berlalu, lelahku pun tak terbendung, kantukku tak tertahan. Serasa ingin merebahkan tubuh sejenak di atas kasur empuk demi melepas penat yang bergelayut setelah seharian penuh menjalani rutinitas sebagai operator warnet. Membayangkan berada di kasur empuk membuat mataku serasa tak mampu bertahan dalam kondisi mata terbuka. Mata sudah sangat ingin terpejam, hendak istirahat karena kelelahan. Namun apa daya, sebagai seseorang yang menjalankan usaha milik keluarga, tentu aku memiliki tanggung jawab penuh di dalamannya. Tak ingin mengecewakan mereka.

         Malam ini, abang kerja dari sore hingga tengah malam nanti. Terpaksa aku yang menjaga warnet sendirian. Sepi terasa membelenggu jiwa. Kakak ipar sudah asik dalam buaian mimpi indahnya, begitu pun adikku.Tinggallah aku seorang diri, bersama dua orang client lelaki yang sedang bermain. Cemas, sesuatu yang tak terelakkan setiap kali berada dalam kondisi seperti ini. Sebab ini bukan kali pertama terjadi. Aku sangat takut berada di antara lelaki yang bukan mahramku. Terlebih lingkungan tempat tinggalku ini memang bukanlah tempat yang baik dalam berprikelakuan, menurutku. Namun dalam senandung dzikir yang tak henti kulafaskan dalam batin, aku berharap takkan ada hal buruk menimpaku.Semoga.

           Sesaat sebelumnya saat aku memeperhitungkan sisa waktu seorang client yang tengah asik bermain game online, aku sudah memperkirakan bahwa aku pasti sudah dapat beranjak ke pembaringan pada puku 23:00 wib. Namun kenyataan berkata lain, belum juga waktu anak kecil  itu habis, dua orang pemuda remaja dating menuju warnetku dan ingin memanfaaatkan paket hemat ( paket malam). Dalam kondisi sedikit kesal kulayani pula, tak baik pula menolak rejeki dariNya, batinku. Terpaksa aku begadang sembari menunggu abangku pulang kerja. Sepi, senyap, hanya alunan lagu-lagu bernuansa mellow yang sengaja kuputar untuk mengobati kantukku yang kian hebat.
Ruang Inspirasi, 12 September 2011